OPINI: Utak Atik Program Makan Siang Gratis
Pemenuhan gizi bagi anak Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Tapi kenyataannya malah sebaliknya. Mengutip temuan dari Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tahun 2023, sekitar 65 persen anak sekolah di Indonesia tidak sarapan.
Selain itu, ditemukan pula bahwa angka gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak (stunting) di Indonesia masih tinggi atau sekitar di angka 21,5 persen hanya turun 0,1 persen dari tahun sebelumnya. Sementara target di tahun 2024 ini turun menjadi 14 persen.
Tak cukup disitu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2018, bahwa sebanyak 55 persen anak usia sekolah di Indonesia tidak memahami dengan apa yang dibaca (functionally illiterate). Melihat fakta ini, tentu rasanya apa yang menjadi program Prabowo-Gibran sangat relevan dengan makan siang bergizi gratisnya.
Apalagi tugas mencerdaskan anak bangsa oleh negara adalah sebuah kewajiban. Sebagaimana amanat Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dalam preambule “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Maka program ini adalah manifestasi yang nyata dari aktualisasi tersebut. Terlebih, blueprint kebijakan strategis Visi Indonesia Emas 2045 dalam rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJN) 2025-2045, salah satu adalah pentingnya mengarusutamakan pembangunan sumber daya manusia (SDM) dalam menghadapi dinamika global (global megatrend).
Makan Bergizi Gratis Gerbang Indonesia Emas 2045
Bila kita tengok di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Jepang dan Korea Selatan. Mereka adalah negara-negara yang telah lebih dulu menerapkan program makan bergizi gratis untuk siswa di sekolah. Mereka menerapkan program ini secara konsisten karena amanat konstitusi mereka. Bahkan, Amerika telah mengundangkan program makan bergizi di tahun 1946 dengan nama UU Makan Siang Nasional (national school lunch act).
Kemudian disusul Jepang dengan UU Program Makan Siang Sekolah (gakkou kyuushoku-hou) di Tahun 1954. Alhasil, seperti yang kita saksikan bersama hari ini. Negara-negara tersebut menjadi negara dengan kualitas SDM unggul dan maju. Menjadi negara dengan perkembangan sains dan teknologi yang pesat dan negara dengan kapitalisasi ekonomi yang besar di kawasannya.
Sementara di Indonesia, program makan bergizi gratis ini baru akan dimulai di era pemerintahan Prabowo-Gibran. Memang tidak ada kata terlambat sepanjang masih ada peluang untuk membuat program ini dapat berjalan untuk mengakselerasi peningkatan kualitas SDM bangsa, mengingat pentingnya kecukupan gizi bagi perkembangan kognitif anak serta kesehatan mereka secara menyeluruh. Dengan mengurangi kelaparan, program ini akan dapat membantu menurunkan tingkat kekurangan gizi serta stunting di kalangan anak-anak. Anak yang memperoleh asupan pangan yang baik, lebih besar kemungkinannya untuk tumbuh baik secara fisik, mental dan intelejensia. Makan bergizi gratis juga akan mendorong orang tua, terutama di kalangan keluarga kurang mampu, untuk memastikan anaknya ke sekolah dengan hati yang tenang dan gembira.
Dengan demikian, hal ini kami yakini akan menekan tingkat putus sekolah. Sebab, angka putus sekolah, kebanyakan disebabkan oleh alasan ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, angka putus sekolah untuk jenjang SD mencapai 0, 13 persen pada tahun 2022, meningkat 0, 01 persen dibandingkan 2021 yang sebesar 0, 12 persen. Pada jenjang SMP, angka putus sekolah tercatat sebesar 1, 06 persen pada tahun 2022, atau naik 0, 16 persen dari tahun sebelumnya 0, 90 persen.
Terlebih lagi, Indonesia akan menyongsong Indonesia satu abad atau 100 tahun kemerdekaan pada tahun 2045 nanti. Pada tahun 2045 ini pula Indonesia mendapat limpahan bonus demografi yang mencapai masa ke emasan usia produktif (15-64 tahun) dengan jumlahnya 70 persen. Maka, momentum inilah yang harus kita perjuangkan untuk mengawal Indonesia mencapai visi Indonesia Emas menjadi negara maju dan unggul.
Tinggalkan Balasan