Bagian terpenting dalam kampanye pilpres adalah mengajak para pendukung capres dan undecided voters untuk mencoblos. Aktivitas ini sering disebut kampanye GOTV atau Get Out the Vote. Dalam GOTV tim capres atau relawan akan mengubungi para pendukung dan undecided voters melalui telepon, pesan teks maupun langsung melakukan kunjungan dari rumah ke rumah.

Dalam pilpres kali ini, tim kampanye Harris dan Trump menggunakan pendekatan berbeda dalam aktivitas GOTV mereka. Menurut laporan AP, tim Harris masih mengandalkan metode tradisional yakni mempekerjakan pegawai yang digaji dan merekrut banyak relawan di seluruh swing states, serta mengawasi kerja mereka secara langsung, berkoordinasi dengan tim Democratic National Committee (DNC). Harris mempekerjakan 2.200 staf lapangan yang ditempatkan di 328 kantor di tujuh swing states, ditambah dengan puluhan ribu relawan.

Sedangkan Trump mempercayakan aktivitas GOTV ini kepada pihak komite aksi politik atau PAC yang mencakup Turnout for America, Turning Point Action, America First Works serta America PAC yang didirikan oleh Elon Musk, dengan dukungan dana ratusan juta dolar. Republican National Committee (RNC) juga mempekerjakan staf lapangan, tapi jumlahnya jauh lebih kecil yakni hanya 350 orang, 50 orang diantaranya di swing state terpenting, Pennsylvania.

Yang menjadi persoalan, menurut laporang AP, adalah hingga 50 hari menuju hari H, para aktivis Partai Republik di swing states mengaku jarang melihat petugas dari keempat PAC tersebut mendatangi rumah-rumah para pemilih. Hal ini membuat banyak politisi Partai Republik khawatir tingkat partisipasi pemilih pro-Trump dan Partai Republik di pilpres akan kalah oleh pendukung Harris.

Apalagi jika mengacu pada kegagalan beberapa outsourced GOTV di masa lalu. Pada pemilihan bakal calon presiden (primary) Partai Republik untuk pilpres 2024, bakal calon unggulan Ron DeSantis menggunakan Never Back Down PAC dengan dukungan dana sebesar US$100 juta (Rp 1,52 triliun). Tapi ternyata DeSantis gagal dan mundur dari pencalonan setelah kalah oleh Trump di Iowa Caucus.

Juga pada pilpres 2016, bakal calon Partai Republik Jeb Bush dengan dukungan dana US$114 juta (Rp 1,73 triliun) menggunakan Right to Rise PAC agar bisa terpilih. Nyatanya, Bush mundur dari pencalonan setelah tampil buruk di South Carolina Primary.

Konflik Timur Tengah Menjadi Duri Dalam Daging Bagi Koalisi Harris

Konflik Timur Tengah terbaru yang diawali dengan serangan Hamas ke wilayah Israel yang menewaskan 1,170 warga Israel yang kemudian memicu tindakan balasan Israel berupa aksi militer di Gaza. Meski aksi militer Israel ini sudah menewaskan 41.467 warga Palestina dan melukai 95.921 lainnya, konflik ini tidak ada tanda-tanda akan berakhir. Bahkan mengalami eskalasi setelah Israel melakukan aksi militer di Lebanon untuk melumpuhkan milisi Hezbollah pro-Iran yang menjadi salah satu pendukung Hamas.

Setelah mengawali serangan terhadap Hezbollah dengan bom pager dan HT yang kemudian diikuti dengan serangan udara terhadap sejumlah sasaran penting di Lebanon Selatan, Israel dikhawatirkan akan membuat konflik Timur Tengah semakin memburuk dengan melakukan serangan darat ke Lebanon Selatan.

Kondisi ini membuat tim Harris waswas. Pasalnya, pemilih Yahudi dan Arab sama-sama merupakan elemen penting dalam ‘koalisi pelangi’ yang sangat diandalkan di swing states. Menurut data Jewish Virtual Library dari pilpres 1968 hingga 2020, Partai Demokrat rata-rata mengantongi 71% suara pemilih Yahudi. Sedangkan menurut data Council on American-Islamic Relations (CAIR), 70% pemilih Arab-Amerika memilih Joe Biden di pilpres 2020.

Trump memanfaatkan konflik Timur Tengah dengan berupaya menarik simpati kedua elemen pendukung Partai Demokrat ini. Kepada pemilih Yahudi Trump mengatakan bahwa Israel akan lenyap jika Harris menjadi presiden. Kepada kelompok Arab-Amerika, menurut The Washington Post, Trump mengutus besannya Massad Boulos yang merupakan warga Arab Amerika untuk menjelaskan kepada warga Arab di swing states bahwa Trump adalah pilihan terbaik untuk mengakhiri perang di Gaza.

Terdapat 424.000 warga Yahudi dan 302.870 warga Arab di Michigan, Pennsylvania dan Wisconsin, tiga swing states terpenting bagi Partai Demokrat. Pada pilpres 2020, Biden menang dengan marjin hanya 256.530 di tiga swing states tersebut. Jadi jika salah satu atau kedua kelompok penting dalam koalisi Partai Demokrat membelot dan memilih Trump di pilpres 5 November nanti, harapan Harris untuk menjadi presiden akan kandas.

Dan keretakan dalam koalisi pelangi pendukung Harris sudah mulai terjadi ketika Amer Ghalib, Wali Kota Hamtramck di Michigan yang mayoritas penduduknya Muslim, memutuskan untuk mendukung Trump!

Apakah akan ada kejutan-kejutan baru di minggu-minggu terakhir menjalang 5 November yang akan mengubah peta persaingan? Kita tunggu saja.

 



Source link