Kisah Diaspora Indonesia di Australia, Raih Cuan Sekaligus Promosi Rendang
Setiap hal selalu ada baik dan buruknya, begitu juga dengan kisah Fina, yang sudah menetap di Australia selama tujuh tahun.
Salah satu sisi positif tinggal di Australia yang dirasakan Fina adalah keteraturan dan kejelasan.
“Semua kejelasan dan keteraturan itu mengurangi masalah-masalah hidup yang tidak perlu. Jadi, kita bisa fokus. Peraturan, hukum, dan sebagainya, ditegakkan dengan benar. Jadi, adil semua. Informasi mudah. Seperti saat waktu bikin bisnis, saya bisa ke – mungkin ke kecamatan atau kelurahan – ke council setempat untuk minta informasi. Kita dibimbing. Jadi, informasi semua jelas,” kata Fina.
Sebagai ibu, Fina menilai bahwa membesarkan anak di Australia juga ada sisi baiknya. Gaya hidup yang sering berinteraksi dengan alam dan udara yang bersih membuat anak lebih sehat. Kurikulum yang jelas dan budaya berpikir kritis juga memberi pengaruh baik.
Namun, bagaimanapun, Fina tak menampik bahwa jauh dari tanah air kerap membuatnya sedih.
“Yang namanya bukan di tanah air sendiri, ada hal-hal yang bikin sedih, seperti support system. Kan jauh dari keluarga. Kalau kita sakit, kalau kita berbagi kesenangan dan kesedihan, keluarga kita jauh,” ucapnya.
Fina menyoroti pula tingginya biaya hidup di Perth, bahkan dalam standar orang lokal.
“Apa-apa mahal. Jasa itu mahal … Banyak sekali pekerjaan yang dihitung per jam. Jadi, kita kalau mau panggil tukang, siap-siap bayar mahal,” tutur Fina.
Biaya yang mahal itu mau tidak mau membuat Fina berupaya mengerjakan segala hal sendiri.
Populasinya yang sedikit juga membuat sejumlah akses layanan publik di Perth menjadi terbatas. Menurut Fina, di sana, bila seseorang mengunjungi dokter umum dan dirujuk kepada dokter spesialis maka dia harus menunggu bahkan hingga berminggu-minggu.
Di luar itu, sebagai minoritas, diaspora Indonesia juga bisa menghadapi diskriminasi. Fina yang bukan orang lokal Australia, seorang muslim, dan seorang perempuan adalah triple minority.
“Saat kami sampai ke sini pertama kali, di tahun 2010, rasanya nggak enak banget. Dilihatin dari ujung kepala sampai ujung kaki atau, misalnya, kita ke toko, tidak dilayani, tidak digubris,” kata Fina.
“Sampai sekarang, kalau kita mau sensitif, tetap ada. Diskriminasi ras, segala macam itu tetap ada.”
Namun, setelah lebih banyak orang asing datang untuk belajar atau bekerja, Australia menjadi lebih terbiasa dan terbuka dengan orang-orang luar.
“Mereka juga saat itu (2010) belum biasa melihat imigran. Ketika kita fast forward ke 2017, setelah sudah lebih terbuka, lebih banyak orang datang, mereka jauh lebih mengerti,” imbuhnya.
Tinggalkan Balasan